Selasa, 31 Maret 2015

Review Film Lucy (2014)


2014 / US / Luc Besson / 2.39:1 Aspect Ratio / R

Sejak tahun 1990-an, nama Luc Besson, baik ketika dia menjadi produser, sutradara, maupun  penulis naskah, selalu identik dengan film-film action Eropa yang khas dengan adegan aksinya yang fun dan mendebarkan, keterlibatan aktor-aktris besar dari Hollywood yang awalnya sangat unlikely untuk menjadi action hero tetapi ternyata bisa memerankannya dengan sangat ikonik, hingga alur cerita servicable yang selalu setia menemani film-filmnya. Hampir tidak ada pecinta film aksi yang tidak mengenal namanya. Tetapi di luar itu, beliau juga suka bereksperimen dan bermain-main dengan genre lain, seperti dalam genre sci-fi, space opera lewat The Fifth Element yang sampai sekarang masih diakui sebagai salah satu film terbaiknya, kemudian film keluarga seperti Arthur and the Invisibles, film biografi The Lady, dan masih banyak lagi. Dan untuk tahun ini, setelah dia menggarap film komedi The Family (Malavita) tahun 2013 kemarin, Luc Besson kembali ke genre sci-fi lewat film yang hanya bertajuk Lucy.


Sesuai judulnya, Lucy berkisah tentang Lucy (Scarlett Johannson), seorang perempuan biasa-biasa saja yang sedang menempuh pendidikan di Taiwan. Tetapi, hidupnya berubah drastis ketika dia dipaksa oleh teman kencannya, Richard (Pilou Asbaek), untuk mengirim sebuah paket misterius untuk Mr.Jang (Choi Min Sik). Isi paket itu ternyata adalah narkoba jenis baru yang bisa meningkatkan kinerja otak sampai dengan seratus persen. 

Meski mengusung premise yang terdengar sangat asyik dan berpotensi untuk menghibur seperti film-film Luc Besson lainnya, Lucy justru berakhir sangat berbeda dari trailer-trailer yang sudah dirilis sebelumnya, dan bahkan jika dibandingkan dengan film-film Luc Besson lainnya yang paling ‘nyeleneh’ sekalipun, Lucy tetaplah yang paling aneh dalam daftar riwayat filmografinya. Singkat kata, Lucy adalah sebuah film eksperimen yang dilakukan oleh Luc Besson untuk merambah genre sci-fi lagi dengan pendekatan yang berbeda, tetapi apakah beliau berhasil atau beliau telah berlari terlalu jauh dari zona nyamannya?

Membicarakan Lucy ternyata jauh lebih sulit dari dugaan saya sebelumnya yang hanya membayangkan isi reviewnya yang kurang lebih seperti, ‘a brainless popcorn movie with spectacular action sequences and charming performance from Scarlett Johannson’. Pertama, buang ekspetasi anda jauh-jauh kalau Lucy adalah film superhero-nya Scarlett Johannson dan bakal dipenuhi dengan adegan aksi seru khas film-film Luc Besson. Percayalah, adegan aksi keren yang dimiliki Lucy hampir sudah ditampilkan semua di trailernya, dan percayalah juga kalau adegan aksinya itu justru mengganggu performa Lucy dalam bercerita. Kedua, abaikan premise-nya yang melibatkan teori ‘manusia hanya menggunakan sepuluh persen dari kemampuan otaknya’ karena sudah terbukti salah. Ketiga, Lucy adalah film sci-fi yang melibatkan banyak sekali teori evolusi, visual metaphor, dan simbol-simbol religius di dalamnya yang sering kalian temui di film-film sejenis 2001: A Space Odyssey (1968) dan The Tree of Life (2011). Dan ya, penyajian Lucy juga terkadang terasa surreal.

Sayangnya, eksperimen yang dilakukan Luc Besson dalam Lucy ini cenderung gagal akibat sajian narasinya yang hanya merupakan hasil tambal-sulam, comot-comot dari beragam film sci-fi ikonik yang sudah ada; terlebih lagi, kombinasinya dengan gaya berceritanya yang nge-pop justru saling bertentangan dan tidak cocok satu sama lain. Bayangkan film-film drama fiksi ilmiah yang mengajak kita untuk berpikir, tetapi juga diselipi dengan adegan-adegan aksi yang dipaksa untuk ada dan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan alur ceritanya secara keseluruhan. Hasilnya? Penonton justru kebingungan akan ke mana arah film ini dibawa; apakah Lucy adalah film sci-fi thought-provoking yang mempertanyakan kehidupan atau film manusia super yang hendak membalas dendam pada orang yang telah merusak hidupnya, sehingga pada akhirnya, penonton lebih memilih untuk mentertawakan ketidakmengertian mereka dan ketidakseriusan film ini dalam menyeriusi keseriusannya sendiri. 

Untung saja, Scarlett Johansson berhasil menampilkan akting memukaunya sebagai seorang heroine misterius yang semakin lama semakin kehilangan sisi kemanusiaannya dengan begitu apik, charming, dan meyakinkan. Choi Min Sik sebagai karakter antagonis utamanya juga berhasil tampil asik, meski karakternya tidak pernah jauh dari kata ‘stereotip’ dan karakter-karakter psikopat yang pernah dia perankan. Sedangkan aktor-aktris lainnya saya rasa tidak ada yang menonjol, bahkan peran Morgan Freeman sendiri pun hanya terkesan sebagai plot device saja. 


Overall, Lucy adalah film sci-fi yang akan sangat mengejutkan anda, ntah in a good way or a bad way, sekaligus merupakan salah satu film paling unik dan paling berbeda yang pernah digarap oleh Luc Besson dalam karirnya.

0 komentar:

Posting Komentar